Senin, 01 Agustus 2011

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PEMBINAAN ILMU HADITS



I.     PENDAHULUAN
Ulum Hadits sebagai sebuah disiplin ilmu tidaklah muncul secara tiba – tiba dan lengkap seperti yang kita jumpai sekarang ini. Ia tumbuh dan berkembang dalam kurun waktu tertentu. Ilmu hadits juga mengalami periode – periode tertentu dan pembinaan – pembinaan sehingga muncul spesifikasi cabang – cabang ilmu hadits yang beraneka ragam.
Dalam pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits itu sendiri, mulai zaman Rasulullah SAW hingga masa setelah tabi` tabi`in, ia mengalami pasang surut. Hal ini tentunya di pengaruhi oleh beberapa faktor  dan karakteristik ulama` Islam pada masanya.
Menurut sementara ulama ilmu hadits, pertumbuhan ilmu hadits dibagi menjadi  5 masa/periode dengan karakteristik yang menyertainya.[1] Kelima periode itu adalah periode Rasulullah SAW, periode Sahabat, periode Tabi’in, periode Tabi’ Tabi’in, dan periode setelah Tabi’ tabi’in (abad 4 H).

II.  RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis ingin menguraikan secara singkat hal berikut ini:
a.       Bagaimana karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits dari masa ke masa?
b.      Bagaimana perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits dari masa ke masa?



III.           PEMBAHASAN
a.      Karakteristik Pertumbuhan Dan Pembinaan Ulum Hadist
Sebelum kita menguraikan periode/masa pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits perlulah kiranya dijelaskan di sini pengertian pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits.  Hal ini sangat penting, karena masih ada yang menyamakan antara perkembangan hadits dengan ilmu hadits itu sendiri. Padahal  keduanya berbeda, meskipun demikian, keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ilmu hadits selalu mengiringi  pertumbuhan hadits itu sendiri.[2]
Pertumbuhan secara etimologi diartikan hal keadaan tumbuh, perkembangan. Sedang pembinaan terbentuk dari kata dasar “bina”  dan mendapat imbuhan pe – an menjadi pembinaan yang berarti  usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.[3]
Jadi, pertumbuhan ilmu hadis diartikan sebagai perkembangan ilmu hadits mulai dari perintisannya sampai tumbuh dan perkembangnya hingga masa sekarang. Sedang pembinaan ilmu hadis, secara singkat,  adalah  usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna terhadap ilmu-ilmu hadits mulai cikal bakalnya hingga hadits bisa menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sitematis, luas dan lengkap bahasannya.
Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa ilmu hadis secara garis besar dibagi menjadi dua disiplin limu, ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis diroyah.[4]
Pembedaan di sini perlu dilakukan karena bahwasanya munculnya disiplin ilmu hadis dirayah tidaklah sama waktu dan pencetusnya. Ilmu Hadis Riwayat, yang selanjutnya disingkat IHR, dipelopori oleh  Muhammad bin Syihab Az Zuhry (51 – 124 H). Ia adalah orang pertama yang menghimpun hadits Nabi SAW  atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II, memerintah tahun 99 – 102 H/717 – 720 M ).[5]
Sedangkan Ilmu Hadist Diroyah(IHD)/Ilmu Mustholah Hadits/Ilmu Ushul Hadits/Ushul al-Riwayat  dipelopori oleh Al Qadli Abu Muhammad Al Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar Ramahurzuri (w.360 H).
Secara umum karakteristik pertumbuhan Ilmu Hadist mulai zaman Nabi SAW sampai zaman setelah Tabi’ tabi’in adalah sebagai berikut:
1.      Masa Nabi Muhammad SAW
Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits (IHR dan IHD) selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah SAW sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis  dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuanpun tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadits.
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar – dasar dalam Al quran  dan hadits Rasulullah SAW. Misalnya anjuran pemeriksaaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah dalam Alquran surat Al Hujurat(49): 6, demikian juga dalam surat Al Baqoroh(2): 282 dan At Thalaq(65): 2. [6]
Ayat – ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Ayat – ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Diperiksa untuk diverifikasi keobyektifannya dari sumber berita tersebut. Demikian juga sabda Nabi Muhammad dalam haditsnya :
Artinya: Allah menerangi (menggembirakan) seseorang yang mendengar sesuatu daripada kami kemudian ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.maka banyak orang yang menyampaikan lebih mengerti daripada yang mendengar”. (HR. Al Turmuzdi).
Ayat dan hadits di atas menjadi dasar perlunya pemeriksaan dan penelitian  berita dan hadits yang yang dismpaikan oleh seseorang, cara memelihara, dan cara menyampaikannya kepada orang lain. Apakah pembawa berita memenuhi persyaratan sebagai perowi yang dapat diterima pemberitannya atau tidak?[7]
2.      Masa Sahabat
Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat  sangat berhati-hati dalam meriwayatakan  hadits karena konsentrasi mereka terhadapa alquran yang baru dikodifikasikan pada masa Abu Bakar tahap awal  dan masa Usman tahap kedua. Masa ini terkenal dengan masa taqlil ar riwayah (pembatasan periwayatan). Para sahabat tidak akan meriwayatkan hadits kecuali disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar  dari Rasulullah SAW.  Pada masa awal islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain. Tetapi setelah timbulnya konflik fisik (fitnah) antar elit politik yakni antar pendukung Ali dan Muawiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syiah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulai terjadi pemalsuan hadits (hadits maudlu`) dari masing – masing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari massa yang lebih banyak.[8] Pada masa ini dapat disimpulkan bahwa ilmu hadits sudah timbul secara lisan  dan eksplisit yang dibuktikan dengan adanya keharusan mendatangkan saksi, bersumpah dan sanad (bila diperlukan).
3.      Masa Tabi`in
Melihat kondisi seperti hal diatas para ulama` bangkit membendung  hadits dari pemalsuan dengan berbagai cara diantaranya rihlah cecking kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus disertai dengan sanad. Keharusan sanad dalam periwayatan bahkan menjadi tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits dari para ulama diatas lembaran kodifikasi. Sanad adalah merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan mana yang cacat (ilm jarh wa ta`dil), sanad mana yang terputus (munqothi`)  dan yang tersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang tersembunyi.
Perkembangan ilmu hadits semakin berkembang pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perowi hadits kuat apa tidak (dlobith), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiannya (tahammul wa ada`), hadits yang kontra berisifat menghapus (nasikh dan mansukh)  atau kompromi, kalimat hadis  yang sulit dipahami (gharib al hadits) dan lain-lain. Akan tetapi, aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawi)  dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Baru ketika pada  pertengahan abad kedua sampai dengan  ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu – ilmu lain atau berbagai buku  atau berdiri secara terpisah. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab Ar Risalah  yang ditulis oleh As Syafi`i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al Umm  dan solusi hadis –hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al –Hadits karya As Syafi`i (w.204 H).[9]
4.      Masa Tabi’ tabi’in
Pada masa ini sejalan dengan pesatnya perkembangan kodifikasi  hadits , perkembangan penulisan ilmu hadits juga pesat.  Namun penulisan ilmu hadits masih terpisah – pisah belum menyatu menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Diantara kitab-kitab hadis pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadits yaitu Ikhtilaf Al Hadist Ikhtilaf Al Hadist karya Ali Al Madani, Ta`wil Mukhtalif Al Hadits karya Ibnu Qutaibah (w.276 H).
Diantara ulama ada yang menulis hadits pada  mukadimah bukunya seperti Imam Muslim dalam Shahih-nya dan At Tirmidzi  pada akhir kitab Jami`- nya. Diantara mereka Bukhori menulis tiga tarikh yaitu At Tarikh Al-Kabir, At- Tarikh Al-Awsath, dan At-Tarikh Ash-Shaghir. Muslim menulis Tobaqot  At Tabiin dan Al-Ilal . At Tirmidzi menulis Al-Asma wal Kuna dan Kitab AT-Tawarikh dan Muhammad bin Sa`ad menulis At Thabaqot Al-Kubro . dan diantara mereka ada yang menulis secara khusus tentang periwayat yang lemah sepertio Ad Dluafa yang ditulis oleh Al Bukhori dan Adl-Dlua`fa  ditulis oleh An Nasai dan lain-lain.
Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad ke-3 Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadis, ia hanya terdiri dari bab-bab saja. Ringkasnya kitab-kitab itu mengenai al jarhu wa ta`di, ma`rifat as sahabat, tarikh ar ruwat, ma`rifat al asma` wal kuna wal al-alqob, ta`wil musykil al hadits, ma`rifat an nasikh wal mansukh, ma`rifat hgharib al hadits, ma`rifat ilal al hadits.[10]
5.      Masa Setelah Tabi` Tabi`in (abad 4 H)
Pada masa ini perkembangan ilmu hadis mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan  berbagai ilmu yang berserakan dan terpisah pada abad-abad sebelumnya. Orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadis secara paripurna dan bersendiri sendiri adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi, dalam karyanya al-muhaddits al-fashil bain ar-rawi wa al-wa`i. Akan tetapi tentunya tidak mencakup keseluruhan permasalahan ilmu. Kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi yang menulis al-jami li adab asy-syaikh wa as-sami` dan kemudian diikuti juga oleh penulis-penulis lain sebagaimana berikut :
1.      Al-kifayah fi `ilmi ar-riwayah dan al-jami` li akhlaq ar-rawi wa adab as-sami`, oleh Al-Khatib Al-Baghdadi
2.      Al-mustakhraj `ala ma`rifah ulum al-hadis, yang ditulis oleh Ash-Shabahani
3.      Al-ilma` `ila ma`rifah ushul ar-riwayah wa taqyid as-sama`, oleh Al-Qadhi `Iyadh bin Musa Al-Yahshubi
4.      `Ulum al-hadits, oleh Abu Amr Utsman bin Abdurrahman Asy-Syarahzuri yang dikenal dengan sebutan Ibnu Ash-Shalah
5.      Nazhm ad-durar fi `ilmi al-atsar, oleh Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husain Al-Iraqi
6.      Nukhbat al-fikar fi mushtalah ahl al-atsar, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
7.      Fath al mughits fi syarhi alfiyah al-hadits, oleh As-Sakhawi
8.      Al-manzhumah al-baiquniyah,  oleh  Umar  bin  Muhammad  Al-Baiquni, dll.

b.      Perbedaan Antara Pertumbuhan dan Pembinaan Ilmu Hadits dari Masa ke Masa
Pada pembahasan di atas sudah dijelaskan secara singkat antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis dari masa ke masa. Uraian di atas juga telah memaparkan secara jelas perbedaan pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis.
Dari uraian di atas juga dapat ditarik kesmpulan bahwa ilmu hadits dalam pertumbuhannya mengalami pasang surut. Hal ini terlihat jelas pada zaman sahabat yang menetapkan syarat – syarat yang ketat dalam periwayatan hadis. Sedang masa-masa sesudahnya, ilmu hadits mengalami pertumbuhan yang cukup baik.
Adanya taqlil ar riwayat pada masa sahabat bukanlah semata ulama pada masa ini kurang memperhatikan ilmu hadits. Bahkan sebaliknya, ini adalah usaha yang sungguh – sungguh dan sebagai embrio cabang-cabang ilmu hadits.
Pada dasarnya pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis dari masa ke masa banyak di pengaruhi kondisi sosial dan politik pada masanya. Secara jelas sejarah telah mengungkap hal tersebut. Pada zaman Nabi SAW di rasa kurang begitu mendesak/perlu adanya ilmu hadits. Pada zaman sahabat juga sama. Baru pada zaman tabi`in, dengan adanya persoalan politik, maka secara otomatis penbinaan ilmu hadits perlu dilakukan sebagai bentuk penyelamatan hadits itu sendiri. Begitu juga masa sesudahnya, pembinaan hadits juga banyak dipengaruhi kondisi sosial budaya dan politik serta kebutuhan umat islam sendiri akan ilmu hadits.
IV.           SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits dari masa Nabi sampai pada masa setelah Tabi`in sebagaimana  tabel di bawah ini :
No
Masa
Karakter
Indikator
1.
Masa Nabi
Telah ada dasar-dasar ilmu hadis.
QS. Al-Hujurat (49: 6 dan Al-Baqarah (2): 282
2.
Masa Sahabat
Timbul secara lisan secara eksplisit.
Periwayatan harus disertai saksi, bersumpah dan, dan sanad.
3.
Masa Tabi`in
Telah timbul secara tertulis tetapi belum terpisah dengan ilmu lain.
Ilmu hadis bergabung dengan fikih dan ushul fikih, seperti al-umm dan ar risalah
4.
Masa Tabi` Tabi`in
Ilmu hadis telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu lain tetapi belum menyatu.
Telah muncul kitab-kitab ilmu hadis seperti at-tarikh dan al-i`lal karya Muslim, kitab al-asma` wa al kuna dan kitab at-tawarikh karya At-Tirmidzi
5.
Masa setelah Tabi` Tabi`in (abad ke 4 H)
Berdiri sendiri sebagai ilmu hadis.
Ilmu hadis pertama al-muhaddits al-fashil bayna ar -rawi wa al-wa`I karya Ar-Ramahurmuzi.

Selanjutnya perbedaan pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits banyak di pengaruhi keadaan lingkungan sosial, budaya dan politik pada masanya serta kebutuhan umat Islam akan perlunya ilmu hadits.
















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an dan Terjemahnya,

As  Siddiqieqy,  M. Hasby,  sejarah  dan  pengantar  Ilmu   Hadits,  1980,  (Bulan
Bintang), Cet. Ke-6.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, 2020, (Jakarta :PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve), Cet. Ke-10.

Khon,  Abdul Majid, Ulum Hadis, 2009 (Jakarta:Amzah), Cet. Ke-2.

Tim    Penyusun ,    Kamus    Besar    Bahasa    Indonesia,   1993,   (Jakarta: Balai
Pustaka).Cet.ke-4.

Munadi,    Yudi    (ed),    Ulumul    Hadits,    2009,    (Jakarta :  PSW  UIN  Syarif
Hidayatullah).


[1]Lihat  Abdul Majid Khon,Ulum Hadis, (Jakarta:Amzah,2009) h. 78-83.
[2] Ibid, h.78
[3] Tim Penyusun, KBBI
[4] Abdul Majid Khon, Op, Cit., h.69., TM. Hasby As Siddiqieqy, sejarah dan pengantar Ilmu Hadits,h. 128
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, lihat juga: Abdul Majid Khon, Op, Cit., h.70
[6] Abdul Majid Khon, Op.Cit. h. 79
[7] Yudi Munadi(Ed), Ulumul Hadits,PSW UIN Jakarta h. 87-88.
[8] Abdul Majid Khon, Op.Cit. h. 79-80.

[9] Ibid, h.81
[10] Ibid, h.81-82.

1 komentar:

  1. Blackjack - Casino in Mississippi - JTM Hub
    Blackjack casino 광명 출장마사지 blackjack table games are just a handful 사천 출장샵 of casinos in Mississippi. 제주도 출장샵 Blackjack has more to offer 논산 출장마사지 than just blackjack and blackjack table 밀양 출장샵 games.

    BalasHapus